Adam Smith
Dunia berutang besar terhadap tokoh yang satu ini khususnya
di bidang ekonomi. Tokoh itu bernama Adam Smith. Pria kelahiran 5 Juni 1723
ini, merupakan penulis buku “The Wealth of Nations” yang mengubah paradigma
ekonomi abad 18 sampai sekarang.
Sebelum Adam Smith melahirkan pemikirannya lewat buku
tersebut, ekonomi masa itu didominasi oleh kelompok kuat tertentu atau
pemerintah/negara (intervensi). Ia berpendirian bahwa perekonomian bisa
dijalankan oleh siapa pun secara bebas (laisses faire).
Sejak buku Kemakmuran Bangsa-bangsa itu diluncurkan, hampir
semua kalangan menyambutnya dengan baik dan mengamalkannya. Hanya sebagian
kecil saja yang masih kukuh memertahankan paradigma lama tentang perekonomian.
Pemikirannya meluas bukan hanya di negara asalnya yaitu
Skotlandia dan Inggris Raya, namun juga ke Eropa, Asia dan Amerika. Kini,
setiap bangsa di dunia menjadikan pandangan Smith sebagai kitab suci
perekonomian lewat apa yang disebut sebagai perdagangan bebas.
Adam Smith - Salah Satu Pencetus Wirausaha
Dunia berutang besar terhadap tokoh yang satu ini khususnya
di bidang ekonomi.
Menyebut kata perdagangan bebas, sebagian masyarakat
kemungkinan besar akan menilai negatif. Sudah bukan rahasia lagi jika dampak
perdagangan bebas, terasa tidak nyaman buat sebagian bangsa, terutama
negara-negara miskin dan terbelakang.
Mereka kalah bersaing dengan pihak lain. Dalam perdagangan
bebas, setiap pihak bisa dengan leluasa bertransaksi tanpa halangan batasan
apapun. Siapa yang punya kualitas, unggul dalam banyak hal, maka dialah yang
akan memenangkan persaingan. Itulah sebabnya efek perdagangan bebas cenderung
negatif buat negara miskin.
Namun tahukah Anda bahwa Adam Smith sebagai pencetus gagasan
perdagangan bebas, sama sekali tidak punya tujuan semacam itu. Atau dia pun
mungkin tidak pernah berpikir bahwa gagasannya akan berdampak senegatif itu.
Ketika ratusan tahun silam, pria yang seumur hidupnya tidak pernah menikah ini,
justru mengubah suatu rejim ekonomi menjadi lebih baik.
Saat itu, perekonomian hanya dikuasasi segelintir pihak
saja. Smith mengubahnya, bahwa setiap orang siapapun dia, bisa menjalankan
perekonomian secara bebas. Pemikiran inilah yang menjadikan wirausaha makin
berkembang pesat.
Pemikiran Brilian Adam Smith
Sejumlah pemikiran brilian lain juga lahir dari kepala
Smith. Seperti bagaimana sebuah perusahaan harus lebih mengoptimalkan buruh.
Bukan sebaliknya. Dialah yang merancang sebuah konsep produksi berantai.
Maksudnya jika
sebelumnya setiap buruh mengerjakan sebuah produk dari awal hingga akhir, maka
berkat Smith, setiap buruh cukup mengerjakan salah satu bagian dari produk
tersebut. Biarlah buruh yang lain yang mengerjakan sisanya. Cara ini ternyata
mampu menggenjot produksi sebuah perusahaan berkali-kali lipat.
Cara tersebut terdapat dalam buku “The Wealth of Nations”
dan digunakan oleh hampir semua pabrik manufaktur di seluruh dunia sampai
sekarang. Perusahaan otomitif baik di Jepang maupun di negara lain, menerapkan
cara ini. Setiap orang hanya memproduksi beberapa komponen saja, secara
terpisah. Begitu juga perusahaan-perusahaan tektil dan produk jadinya,
elektronik, perkakas rumah tangga dan lain sebagainya.
Pendidikan Adam Smith
Pada umur 13 tahun, Adam Smith memasuki Universitas Glasgow.
Di sana, Adam Smith belajar filosofi moral dari Francis Hutcheson.
Adam Smith sering
memanggil gurunya itu dengan sebutan “orang yang tidak boleh dilupakan".
Di Universitas
Glasgow, Adam Smith mengembangkan pemikirannya terhadap kebebasan, akal sehat,
dan kebebasan berpendapat.
Pada 1740, Adam Smith
mendapatkan penghargaan Snell Exhibition dan berkesempatan menuntut ilmu di
Universitas Oxford.
Namun, Adam Smith
meninggalkan Universitas Oxford pada 1746 karena tidak betah.
Melihat sepak terjangnya di bidang ekonomi yang begitu
hebat, mungkin kita menyangka bahwa Adam Smith adalah seorang bergelar tinggi,
bergaya hidup mewah dan glamor.
Ekonomi sangat identik dengan uang dan kemakmuran. Apalagi
buku yang ditulisnya pun terkait dengan kemakmuran. Tapi ternyata, kehidupannya
jauh dari kesan mewah. Dia bahkan bisa disebut sebagai orang yang sangat
sederhana.
Di balik pemikiran cemerlangnya di bidang ekonomi, dia
justru menyumbangkan hampir semua penghasilannya kepada pihak yang lebih
membutuhkan.
Semua sumbangannya tersebut dirahasiakannya, sampai baru
ketahuan setelah dia mati. Setiap kali bicara tentang ekonomi pun, Smith tidak
pernah lepas dari pembahasan tentang moral dan etika.
Sepuluh terakhir masa hidupnya, dia habiskan untuk menemani
sang ibu di tanah kelahirannya Skotlandia. Padahal dia sudah sukses melanglang
buana ke berbagai negara. Diduga karena kecintaan terhadap ibunya tersebut,
Smith tidak pernah menikah sampai akhir hayatnya.
Fakta itu sangat bertolak belakang dengan perilaku
perdagangan bebas dewasa ini. Yang cenderung serakah, tanpa etika dan
menghalalkan segala cara. Padahal, penemu konsep perdagangan bebas adalah sosok
yang murah hati.
Karir Adam Smith di Edinburg dan Glasgow
Pada 1748, Adam Smith mulai menapaki karier sebagai pengajar
di Edinburg di bawah bimbungan Lord Kames. Mayoritas dari perkuliahan yang
dibawakan Adam Smith menyinggung retrorika dan belles letters.
Namun, Adam Smith akan mengambil subyek daari “kemajuan dari
kesejahteraan”. Lalu, pada akhir abad 20, Adam Smith untuk pertama kalinya
mengungkapkan filosofi ekonomi. Filosofi tersebut tertuang dalam buku
karangannya yang fenomenal The Wealth of Nation.
“Orang-orang dari perdagangan yang sama kadang-kadang
bertemu bersama, bahkan untuk bersenang-senang dan perpisahan.
Tapi percakapannya
akan berakhir dengan konspirasi melawan publik, atau dalam hal tertentu untuk
menaikkan harga.
Mustahil sebenarnya untuk mencegah pertemuan seperti ini,
dengan hukum manapun yang akan ditimpakan, atau akan konsisten dengan kebebasan
dan keadilan.
Tapi, dengan hukum
tidak bisa menghindarkan masyarakat dari perdagangan yang sama untuk
kadang-kadang bertemu bersama.
Itu seharusnya tidak
berakibat apapun untuk memfasilitasi pertemuan seperti itu, lebih kurang untung
membuat mereka dibutuhkan. “
Salah satu kutipan favorit dalam The Wealth of Nations
adalah sebagai berikut.
“People of the same trade seldom meet together, even for
merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the
public, or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to
prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be
consistent with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of
the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to
facilitate such assemblies; much less to render them necessary.”
Pada akhir 1750, Adam Smith bertemu dengan filsufDavid Hume.
David Hume adalah senior Adam Smith. Keduanya, Adam Smith dan David Hume
memiliki hubungan dan kesamaan opini.
Bukti kesamaan tersebut dapat dilihat dari tulisan mereka
yang mencakup sejarah, politik, filosofi, ekonomi, dan agama. Kedua tokoh ini
memainkan peranan penting dalam pencerahan di Skotlandia.
Pada 1751, Adam Smith ditunjuk sebagai ketua dewan logika di
Universitas Glasgow. Lalu, dipindahkan ke dewan filosofi moral Glasgow pada
1752. Di Universitas Glasgow, perkuliah Adam Smith meliputi etika, retorika,
dan politik keuangan. Adam Smith mulai memberikan perhatian yang lebih pada
bidang ekonomi dan sedikit teorinya tentang moral. Dedikasi Adam Smith terhadap
bidang ekonomi telah mengubah pola ekonomi dunia ke arah kapitalis.
Pengaruh Adam Smith
Karya Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations ini
adalah salah satu usaha awal untuk mempelajari bangkitnya industri dan
perkembangan ekonomi Eropa.
The Wealth of Nations ini merupakan pengawal ke disiplin
akademis modern dari ekonomi. The Wealth of Nations memberikan salah satu
rasional intelektual paling dikenal untuk perdagangan bebas dan kapitalisme.
Karya Adam Smith ini pun memengaruhi secara luas tulisan ekonom selanjutnya.
Bung Hatta
Mohammad Hatta lahir di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada 12 agustus 1902. nama aslinya adalah Mohammad Ibnu ‘Atha’. Nama ini terinspirasi oleh Mohammad Ibnu ‘Atha’ illah al-askandari, pengarang kitab Al-Hikam, sebuah buku sufistik yang terkenal di kalangan pesantren ataupun surau (Madjid,2002). Dia berasal dari keluarga kaya yang juga kuat agamanya. Kakeknya, Syaikh Abdurrahman (1777-1899) adalah pendiri utama Surau Batuampar, Payakumbuh, sebuah pesantren yang menjadi pusat pengajaran Thariqah Naqshabandiyyah. Ayahnya, Hadji Mohammad Djamil (syaikh Batuampar) merupakan ulama pedagang yang terkenal di daerahnya. Dan ibunya, merupakan keturunan keluarga terkaya di kota itu(Noer,1990). Sebagai sosok yang tinggal di keluarga yang mempunyai tradisi matrilineal, Minangkabau, Hatta tinggal bersama 6 saudara perempuan di keluarga ibunya.
Dari latar belakang keluarga itulah akhirnya Hatta bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Padang (1913 -1916) setelah berhasil menyelesaikan Sekolah Melayu di Bukittinggi. Kemudian, ia sempat merndaftar ke Hogere burgerschool (HBS) di Jakarta. Namun karena ibunya merasa ia terlalu muda untuk tinggal sendiri di Jakarta. Akhirnya ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di padang.
Sejak tahun kedua masa studinya di MULO (1918) atau sekitar umur 17 tahun, ia mulai tertarik pada organisasi pemuda-pelajar; Jong Sumatranen Bond. Rasa ketertarikannya tersebut makin mendalam saat belajar di Jakarta dan kemudian berlanjut pada waktu pergi ke Belanda untuk belajar di Handels-Hoogeschool tahun 1922 (Noer, 1990).
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Dari latar belakang keluarga itulah akhirnya Hatta bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Padang (1913 -1916) setelah berhasil menyelesaikan Sekolah Melayu di Bukittinggi. Kemudian, ia sempat merndaftar ke Hogere burgerschool (HBS) di Jakarta. Namun karena ibunya merasa ia terlalu muda untuk tinggal sendiri di Jakarta. Akhirnya ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di padang.
Sejak tahun kedua masa studinya di MULO (1918) atau sekitar umur 17 tahun, ia mulai tertarik pada organisasi pemuda-pelajar; Jong Sumatranen Bond. Rasa ketertarikannya tersebut makin mendalam saat belajar di Jakarta dan kemudian berlanjut pada waktu pergi ke Belanda untuk belajar di Handels-Hoogeschool tahun 1922 (Noer, 1990).
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Pemahaman agama Islam ia dapat sejak masa kanak-kanak dari keluarganya yang berpaham Sufisme. Kemudian, menginjak usia remaja ia juga mendapat pengajaran agama yang bersifat Reformis-modernis dari Abdulloh Achmad di Padang dan Djamil Djambek di Bukit Tinggi. Bahkan ia sudah bisa menghafal Al-qur’an setelah lulus ELS.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Karena telah lama di besarkan dilingkungan agama yang sangat kuat, kemudian mendapat pelajaran dan tinggal di lingkungan sekuler yang lama juga, Hatta menjadi sosok muslim yang taat secara pribadi, namun menganut nilai-nilai inklusif secara politik.
Hatta dan Ekonomi Kerakyatan
Bung Hatta, dalam gerak perjuangannya banyak mengkritisi masalah ekonomi Indonesia kala itu lewat tulisan-tulisannya. Menyikapi sistem ekonomi Belanda yang saat itu banyak di dukung kaum feudal dalam negeri serta para komprador, pada tahun 1933 ia menulis: Ekonomi Rakyat dalam Bahaya. Dalam tulisan tersebut Hatta berpendapat bahwa mengenyahkan sistem ekonomi kolonial Belanda merupakan landasan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menurut Hatta struktur sosial-ekonomi rakyat Indonesia pada zaman kolonial Belanda menempati struktur terbawah. Dampaknya, ekonomi rakyat pribumi selalu mengalami tekanan dalam konstalasi ekonomi saat itu. Ancaman, pemaksaan, manipulasi, otoritas dan kepemimpinan paksa menjadikan rakyat pribumi selalu dalam posisi korban. Rakyat hanya berperan sebagai konsumen yang nasibnya sangat bergantung pada saudagar asing lewat jalan piutang. Harga barang pun hanya ditentukan oleh asing. Jika ada rakyat yang sebagai penjual, ia hanya bisa menjual barangnya dengan harga semurah-murahnya. Jika pembeli, hanya mampu membeli dengan semahal-mahalnya.
Sumber :
http://jefrysibuea.blogspot.com/2010/04/bung-hatta-sang-proklamator-dan-bapak.html
http://www.anneahira.com/adam-smith.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar